ID. 060-26022018-103024-044-01
Awal berurusan dengan jurnal adalah ketika saya diberi tugas untuk persiapan akreditasi sebuah Program Studi Kesehatan pada tahun 2009. Saat itu, posisi saya baru saja lulus pascasarjana. Tugas yang diberikan ketua adalah menerbitkan sebuah ‘jurnal kesehatan’. Tentu saja tidak mudah memulainya. Saat itu yang ada hanya panduan dari LIPI secara manual. Berbekal tekad dan semangat akreditasi, saya mulai menyusun daftar pekerjaan dan mempelajari dengan saksama petunjuk dari LIPI. Itu pun tidak bisa terlalu lama belajar karena harus segera ‘action’. Langkah selanjutnya, saya menyusun manajemen jurnal, seperti: susunan pengurus, bentuk jurnal, gaya selingkung, tematik, dan lain sebagainya.
Selama proses menyiapkan jurnal, hanya satu kesulitan yang membuat saya hampir menyerah, yaitu mengumpulkan tulisan ilmiah. Mengapa? Karena saat itu gairah menulis ilmiah tidak semarak seperti sekarang. Selain itu, teman se-institusi juga tidak banyak yang mempunyai tulisan ilmiah. Akhirnya, saya memasukkan tulisan teman-teman pasca yang kebetulan berjumlah enam orang. Jumlah ini sama dengan kapasitas isi jurnal. Alhamdulillah. Keberadaan jurnal ‘X’ sangat signifikan. Selain akreditasi program studi menjadi B, jurnal ‘X’ juga dipergunakan oleh teman-teman sebagai tempat untuk menerbitkan tulisan ilmiah. Dampak- nya adalah jabatan fungsional teman-teman bisa naik menjadi Asisten Ahli 100. Waktu itu ada dua Asisten Ahli, yaitu Asisten Ahli dengan KUM 100 dan Asisten Ahli dengan KUM 150.
Regulasi pendidikan tinggi dengan Tri Dharma-nya mengharuskan pengajar menerbitkan hasil karya ilmiah. Seiring dengan hal tersebut, regulasi dan tata kelola jurnal berubah dari yang konvensional atau hard copy menjadi elektronik atau soft copy. Seingat saya, tahun 2015 mulai bergaung era jurnal elektronik tersebut. Tiga tahun berlangsung adalah era kebangkitan dunia perjurnalan di Indonesia. Indonesia berhasil melampaui negara tetangga, Thailand, dalam menghasilkan tulisan ilmiah dan berhasil diterbitkan di tingkat internasional.
Berkembangnya perjurnalan ini selain membanggakan, juga menjadi- kan saya ‘ciut hati’. Masalahnya adalah jurnal sekarang dikelola dengan elektronik sedangkan jurnal yang saya kelola masih konvensional. Selain itu, saya merasa gaptek poll. Perlu waktu yang cukup untuk belajar teknologi tata kelola jurnal. Kalau orang-orang muda perlu 10 menit maka saya butuh 30 menit. Semoga para trainer nanti diberikan kesabaran Allah SWT, khususnya dalam membimbing saya. Istilah SINTA, ARJUNA, DOAJ, OJS 1, OJS 2, dan sekarang OJS 3 membuat saya menangis ‘bombay’. Sementara jurnal fakultas di tempat saya mengabdi baru akan menuju OJS awal. Saya tidak tahu OJS ke berapa.
Tahun 2015, saya mulai bergabung dengan Relawan Jurnal Indonesia Korda DKI Jakarta. Misinya adalah membuat maju jurnal fakultas sekaligus agar nilai akreditasi program studi menjadi lebih baik. Langkah awal menutupi ke‘gaptekan’ saya adalah meminta Pusat Komputer Universitas membuat ‘bentuk’ elektroniknya. Ternyata tidak bisa begitu saja lancar karena harus ada sistem versi khusus untuk mengoperasionalkan jurnal elektronik. Akhirnya diputuskan bahwa yang penting dibuat link dan ‘rumah’ jurnalnya dulu. Tidak berhenti sampai di situ saja. Usaha saya selanjutnya adalah mendaftarkan personel Puskom mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh RJI. Selepas itu, belum juga bergerak ke OJS , personel di Puskom sudah resign semua, yakni dua orang. Tinggalah kini pengelola jurnal fakultas gigit jari.
Universitas tempat saya mengabdi memiliki enam fakultas. Semua sudah mempunyai jurnal. Berdasarkan observasi, jurnal-jurnal tersebut belumlah dikelola secara sungguh-sungguh, baik dari segi personel maupun sistem informatika yang mendukung jurnal elektronik. Hal lain yang menghambat pertumbuhan jurnal di institusi saya adalah belum ada statuta yang mengatur garis struktural dan koordinasi antara LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat), universitas, dan fakultas.
Waktu terus berjalan dan saya masih tergopoh-gopoh mengejar kegaptekan terhadap sistem. Berharap pada Training RJI, saya bisa menyerap ilmu yang diberikan oleh para trainer dan mengaplikasikan ke institusi. Tentu saja dengan bantuan tim kerja yang baik dari bagian sistem. Saya sadar bahwa konsekuensi mengelola jurnal tidak mudah. Niat awal ingin menebar manfaat maka selanjutnya komitmen dan konsisten adalah kata kunci menapak ke masa depan perjurnalan yang lebih baik. Oleh karena itu, saya yang merasa sangat gaptek ini akan bergandengan tangan dengan rekan sejawat yang masih punya semangat mengelola jurnal dengan baik.