Saat saya mengurusi bidang akademik di fakultas, keluar surat edaran Dikti Nomor 152/E/T/2012 tanggal 27 Januari 2012, tentang kewajiban menerbitkan artikel pada jurnal bagi mahasiswa. Tahun itu juga kami berinisiatif membuat jurnal yang tujuannya menampung artikel mahasiswa. Sangat sederhana, jurnal tersebut kami buat. Diperbanyak dengan cara difotokopi. Setelah terbit dua edisi, penerbitan mulai tersendat-sendat. Mulai tidak diperhatikan justru oleh pengelolanya karena kesibukan yang semakin meningkat, mengajar misalnya. Pengelola jurnal tersebut juga dosen, sehingga banyak waktu digunakan untuk hal lainnya seperti mengajar, membimbing mahasiswa, membuat proposal, mengejar luaran penelitian, menulis buku, membuat RPS, mengurus BKD, kegiatan pengabdian, dan seabrek kegiatan lainnya. Akhirnya, semua pengelola jurnal meninggalkan jurnal tersebut, kecuali saya.
Bukannya karena saya suka dan hobi urus jurnal tetapi betul-betul terpaksa. Saya kan penanggung jawab bidang akademik. Mau tidak mau harus mengurusi jurnal itu. Jadi, mulai dari koreksi artikel, editing, berurusan sama tukang cetak, urusan surat menyurat, sampai mengirim jurnal cetak ke penulis. Hanya layout-nya saja bukan saya yang urusi. Maklum kalau itu, saya agaknya gugup juga. Coba kalau saya mahir, dijamin saya juga yang kerjakan.
Kebijakan kenaikan pangkat bagi dosen yang mewajibkan publikasi menjadi keuntungan tersendiri bagi jurnal kami. Walaupun tertatih-tatih dan kadang terlambat terbit, jurnal kami tetap terbit. Artinya apabila penulis memasukkan tulisan akan diterbitkan sesuai edisi yang akan terbit. Bukan akan diterbitkan tahun lalu. Seperti yang dilakukan beberapa jurnal untuk menutupi kekurangan edisi. Kami tepatnya saya, juga mengedit benar-benar, mengirim koreksi ke penulis untuk diperbaiki. Apabila penulis tidak mengirim balik atau bosan memperbaiki, terpaksa edit sendiri. Tidak heran pernah saya membongkar tulisan mulai judul, metode, tabel hasil, sampai kesimpulan dan daftar pustaka. Mau bagaimana lagi, tulisan itu kami butuhkan secepatnya. Sementara penulis sangat low response.
Tahun 2015, jurnal kami mulai masuk OJS. Itu membuatnya mulai jadi pilihan untuk mempublikasi luaran hasil penelitian dosen. Bukan hanya di lingkup sendiri, tetapi juga dosen di perguruan tinggi lainnya. Apesnya kami sering didesak-desak, apalagi kalau waktu monev penelitian sudah dekat. Tidak jarang ada yang menelpon minta dibuatkan keterangan submit sekedar untuk lolos saat monev penelitian. Padahal kan itu sudah dijawab langsung oleh sistem. Bahkan ada yang membujuk-bujuk minta surat keterangan padahal mereka belum men-submit tulisan. Tentu saja kami menolak. Ada-ada saja ulah para pengguna ini.
Seiring dengan dikenalnya jurnal kami… cieeh…., kami mulai memperketat penerimaan tulisan. Maklum stok tulisan mulai banyak. Apalagi setelah terindeks di lembaga pengindeks yang reputable. Saya bersyukur dibantu seorang dosen muda yang menguasai IT, walaupun kami juga biasa ‘bentrok’ terutama apabila deadline penerbitan jurnal sudah dekat. Sampai mencapai volume 6, jurnal itu hanya diurusi oleh kami berdua, dibantu bendahara yang menampung pembayaran biaya artikel oleh penulis.
Oya, bicara tentang biaya. Dulu kami dibantu biaya penerbitan walaupun sedikit. Tetapi banyak juga pihak yang tidak mengerti tentang pentingnya jurnal ini. Terutama pihak pengelola keuangan di kampus yang tidak bersentuhan langsung dengan akademik. “Memangnya jurnal ini betul-betul selalu dicetak?” katanya saat saya mencairkan dana untuk cetak. Dipikirnya biaya tersebut untuk pengelola jurnal saja. Ya… gak enak lah. Kami maklum tepatnya bersabar. Mereka memang selama ini tidak melihat cetakan jurnalnya. Ya memang kami melaporkannya ke pimpinan. Mungkin juga mereka pusing mengurusi keuangan. Maklum kami dari universitas swasta yang swadaya dalam mengelola kampus.
Tetapi itu membuat kami tidak minta biaya lagi. Jurnal kami sekarang betul-betul mandiri dalam hal pengelolaan keuangan. Bahasa sederhana- nya ’kembang kempis’ dalam mengelola keuangan. Tetapi sejak bergabung di grup WhatsApp RJI, kami bersemangat. Ternyata bukan hanya kami yang merasakan derita jadi pengelola jurnal. Pengelola jurnal itu dibutuhkan sekaligus dilupakan. Seperti cuitan salah satu anggota grup WA RJI hari ini, saya memang ditakdirkan menjadi pengelola jurnal. Sebenarnya masih banyak yang ingin saya curhatkan. Tetapi tunggu buku curhat edisi 2 deh hehe. Tetap semangat teman-teman pengelola jurnal, insya Allah pekerjaan kita berkah.