Mendengar kata ilmiah bagi saya saat menjadi siswa dan maha-siswa, seperti akan berhadapan dengan orang botak yang menandakan rambutnya rontok karena berpikir. Bahkan, tidak jarang kata ilmiah itu sendiri diidentikkan dengan orang yang pinter, berwawasan luas, intinya punya banyak pengetahuan. Apalagi saat tahun 2000 an, masa-masa awal saya kuliah S1 di perguruan tinggi swasta di desa, dengan segala keterbatasan akses ke pusat propinsi. Namun, syukur alhamdulillah dosen-dosen saya terdahulu banyak mengenyam pendidikan mapan di kota-kota dari perguruan tinggi yang bagus, terlebih perguruan tinggi tempat saya mengenyam pendidikan strata satu tersebut didukung oleh yayasan yang alumninya sudah banyak di Nusantara dan luar negeri.
Pada awal tahun 2000-an inilah saya mengenal istilah jurnal ilmiah, karena kampus kami menerbitkan Jurnal R, yang saat ini saya masih mencari edisi pertama sampai edisi sebelum bermanajemen online. Penulis di Jurnal R dari kalangan dosen kami, pastilah dosen yang sangat mempengaruhi tradisi ilmiah di kampus, begitu juga penulis luar kampus kami mereka yang dikenal cendekiawan, dan berwawasan luas.
Jika dulu saya hanya penikmat jurnal kampus kami, sejak tahun 2016 kemarin, setelah lulus jenjang S2 dan menjadi dosen di kampus tempat saya kuliah S1 dahulu, saya didapuk sebagai salah seorang yang mengurusi jurnal di lingkungan kampus swasta tersebut. Tahun itu Jurnal R masih ada, dengan pengelola yang baru, kawan-kawan muda, yang sudah mendapat pemahaman baru dalam kancah perjurnalan di Indonesia, terutama jurnal online. Jurnal dengan manajemen online, bukan jurnal yang dionlinekan, salah satunya pakai OJS yang disediakan oleh PKP.
Beberapa kali kami berkumpul dengan kawan yang sedang me- ngembangkan jurnal di salah satu PTKIN di Jawa Tengah, meskipun dia juga baru pertama kali mengelola di lembaganya, namun info yang disampaikan sangat berharga bagi kami yang jauh dari hiruk pikuk jurnal online. Hingga akhirnya pada awal tahun 2016, setelah memperhatikan informasi kawan kami tersebut, dan “kedangkalan ilmu perjurnalan” kala itu, kami sepakat untuk menutup Jurnal R dan dihentikan pengelolaannya karena dianggap tidak bisa dilanjutkan untuk diajukan akreditasi.
Akhirnya dengan berat hati kami mendeklarasikan Jurnal D untuk di- kelola berbasis OJS dan dirancang untuk mencapai standar akreditasi nasional dan go-internasional.
Beberapa agenda teknis strategis kami buat dengan target capaian yang jelas. Sejak saat itu kami melengkapi peryaratan pengajuan ISSN online dan cetak ke LIPI guna mendapatkan legalitas sebagai jurnal ilmiah. Tepat pada Oktober 2016 kami ajukan permohohan ISSN tersebut untuk Jurnal D ke LIPI. Alhamdulillah turun sesuai dengan harapan. Edisi 1 dan 2 untuk volume pertama kami lalui dengan aman, karena skenario dari roadmap berjalan lancar.
Para dekan fakultas di lembaga kami pun berhasrat mengelola jurnal. Keinginan tersebut disetujui oleh rektorat, sehingga dibentuklah divisi MJ di bawah LP2M sebagai koordinator. Tahun 2017 adalah tahun penuh tantangan, dimana kami yang tergabung dalam MJ, yang terdiri dari pengelola Jurnal D dan beberapa pengurus jurnal fakultas harus berjibaku memenuhi persyaratan untuk pengajuan tiga ISSN cetak, dan empat ISSN online.
Kami saat itu memeliki tiga fakultas sehingga ada tiga jurnal fakultas. Namun saat pengajuan ISSN, kami harus mengajukan empat. Ya, satu ISSN online, kami ajukan untuk Jurnal R, yang sempat kami “bunuh” setahun lalu untuk tidak terbit. Ternyata tuah Jurnal R tidak bisa dipungkiri bagi perguruan tinggi kami. Setelah kami onlinekan naskah-naskah terdahulu, ternyata peringkat di SINTA dan unique visitor Jurnal R jauh lebih dari Jurnal D yang kami siapkan sebagai jurnal terakreditasi dan jurnal internasional.
Bagi kami Jurnal R adalah ikon tradisi ilmiah kampus kami. Maka dengan segala upaya dia harus bangkit. Apalagi setelah kami “tahu sedikit” bahwa sebenarnya Jurnal R yang kami anggap “kolot” dan tidak sesuai dengan tantangan akreditasi masa kini, ternyata masih bisa disiapkan untuk menghadapi tantangan dunia perjurnalan saat ini.
Masalah pun terjadi saat Jurnal D dan R sama-sama bangkit, sama memiliki ruang ilmiah tersendiri di khalayak luar kampus, karena focus & scope kedua jurnal ini sama. Apalagi indexing keduanya sama, sama-sama terindeks DOAJ, sesuatu yang wah di cluster Forum Redaktur tempat kami berada. Kami adalah satu-satunya kampus swasta keagamaan yang pertama memiliki jurnal ber-DOAJ di pulau kami, dan itu pun langsung dua. Kami juga adalah kampus pertama yang memiliki jurnal ber-DOAJ di kabupaten kami. Rasa syukur selalu kami panjatkan, meskipun kegelisahan kami tidak ada ujungnya, hingga akhirnya tepat pada volume 2018, kami sepakati Jurnal D harus berbahasa PBB dan Jurnal R boleh bahasa PBB dan bahasa Indonesia.
Ternyata masalah tidak berhenti di situ, saat jurnal ilmiah harus menunjukkan keilmiahannya dengan memuat artikel-artikel ilmiah, bukan artikel yang asal. Meskipun ini adalah masalah klasik di setiap jurnal. Bagi kami ini adalah masalah serius, sehingga kawan-kawan di MJ di bawah koordinasi LP2M berjibaku menunjukkan kualitas lima jurnal yang kami kelola sesuai dengan standar jurnal ilmiah, meskipun kami tidak tahu apakah artikel yang kami kelola saat ini sudah sesuai dengan standar ilmiah.
Ya, kembali kata ilmiah yang sama, saat tahun 2000 an, saat saya menjadi siswa dan mahasiswa kembali menjadi kata yang mudah diucapkan tetapi susah untuk dimplementasikan. Karena tidak jarang dalam beberapa forum jurnal, kami mendapatkan informasi bahwa jurnal yang ilmiah tidak lagi dikelola dengan cara-cara ilmiah, untuk kepentingan dosen, guru besar untuk pencairan tunjangannya. Bahkan, deraan angin akan semakin kencang bagi jurnal terakreditasi, karena yang “nitip” bukan lagi kelas dosen untuk kepentingan SKP, melainkan konon ada yang menyebut-nyebut sudah ada disposisi dari “Pak Menteri” agar si “A” di- muat naskahnya, untuk dipromosikan sebagai “Dirjen” atau “Kasi”.
Nah, di sinilah “kegilaan” kawan-kawan pengelola jurnal diuji. Karena kalau bukan orang yang “gila ilmiah” dia pasti takut, pasti bisa di-tidak- ilmiahkan, jika sudah ditekan sana-sini. Bahkan, karena saking ilmiahnya, pengelola jurnal takut menulis di jurnalnya sendiri, takut dianggap “swalayan”. Padahal di tata kelola jurnal sudah ada etika pengelolaan. Namun, kita tidak pernah tahu apa yang ada di pikiran orang, yang mungkin mereka akan beranggapan kita yang nulis, edit, review dan publish. Padahal belum tentu, meskipun bisa jadi.”