Keikhlasan merupakan kata yang selalu terngiang dalam benak saya. Sesekali ketika merasa penat mengurusi ribetnya pengelolaan jurnal, kata itu muncul kembali. Meskipun tampak menyinggung perasaan dan menohok hati, saya sama sekali tidak merasa tersinggung dan gundah gulana. Bahkan, saya pun menyampaikan kata- kata yang sama sebagai bahan guyonan kepada para punggawa jurnal lainnya ketika ada di antara mereka yang mengalami hal yang sama; ribet, jengkel, dongkol dan semua perasaan hati lainnya.
Keikhlasan ini tampak dari sosok Marbot yang bisa ikhlas dengan upah seadanya, sehingga pengelola jurnal harus lebih dari itu. Ada atau tidak adanya upah, bukan menjadi masalah. Jangan jadikan upah sebagai masalah. Yang jadi masalah adalah ketika kita tidak dapat menebar kebaikan dengan cara menulis dan mengelola naskah dengan baik demi perkembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan di jagad raya ini. Yakin dan percaya bahwa Tuhan akan memberikan balasan yang setimpal bagi orang-orang yang ikhlas dalam melakukan segala sesuatu.
Pesan-pesan keikhlasan juga disampaikan salah seorang editor in chief, sebuah jurnal bereputasi internasional, ketika berkunjung ke kampus saya. Saat itu, beliau mengajarkan dan memberikan pencerahan tentang bagaimana tata kelola jurnal yang baik dan menulis naskah ilmiah di jurnal bereputasi internasional. Hasilnya, saya pun merasa termotivasi untuk selalu menebar kebaikan melalui tulisan dan melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuan yang saya miliki.
Menjadi editor jurnal bukan perkara mudah. Hal ini karena mengelola jurnal membutuhkan tenaga ekstra, waktu ekstra, dan pikiran ekstra untuk menyelesaikan seribu satu masalah, namun tidak setimpal dengan imbalan yang diterima. Ini berarti bahwa tingkat kesejahteraan seorang editor masih jauh dari harapan. Editor yang membidani masalah tata kelola jurnal (OJS) misalnya, hanya dibayar Rp. 150.000,- dengan setumpuk dan segudang masalah. Terkadang, hanya mengurusi tampilan atau tampak depan jurnal saja, dia harus begadang satu hingga dua malam.
Belum lagi, ketika harus mengurus indeksasi, alur masuk naskah, dan sebagainya, begadang hingga larut malam menjadi pekerjaan setiap hari. Iya, kata kuncinya memang harus begadang. Tidak ada waktu lain yang dapat diluangkan selain di malam hari. Pagi hingga sore hari merupakan waktu untuk mengajar. Sore hingga malam diperuntukkan untuk instirahat dan keluarga. Tengah malam, itulah saatnya untuk mengurusi jurnal. Subḥānallāh. Hanya diriku dan dirinya saja yang mengetahui pahit dan getirnya pengelolaan jurnal. Hal ini karena dia seringkali menyampaikan keluh kesahnya meskipun secara tidak langsung.
Pimpinan tidak pernah mengetahui masalah ini. Mereka hanya mengetahui manisnya saja, sementara pahitnya, kami sendiri yang merasakan. Hanya saja, untuk kasus di kampus kami, Pimpinan responsif dan memberikan respek kepada para pengelola jurnal yang aktif. Caranya adalah dengan mengizinkan pengelola untuk menimba ilmu kemana-mana dari orang-orang yang tentunya sudah berpengalaman. Salah satunya adalah dengan mengikuti Training RJI. Insya Allah. Satu hal yang mereka minta, harus ada perubahan dalam pengelolaan jurnal. Jika sebelumnya ada jurnal belum diindeks DOAJ, maka setelah pulang pelatihan, harus ada jurnal yang diindeks DOAJ. Jika sebelumnya belum ada satupun jurnal yang terakreditasi, maka setelah training, harus ada jurnal yang terakreditasi.
Belum lagi, selaku editor in chief, saya seringkali mendapatkan perkataan kurang mengenakkan dari para penulis yang naskahnya ditolak alias tidak dapat diterbitkan. Biasanya, para penulisnya berasal dari orang- orang internal, sementara penulis eksternal tidak pernah ditemukan. Sebagian besarnya adalah senior dan tidak jarang pula dari junior. Penolakaan naskah ini memiliki banyak motif. Yang paling sering adalah naskah tidak sesuai dengan aim and scope dan demikian pula, konten naskah yang jauh dari kata memadai.
Pernah suatu saat, saya didatangi oleh seorang penulis yang datang marah-marah hanya karena artikelnya ditolak. Alasannya sederhana. Dia merasa bahwa dia adalah bagian di dalam diri jurnal kami. Dia merasa bahwa usahanya selama ini dalam membantu pengelolaan jurnal sama sekali tidak dihargai, dan begitu banyak macam alasan dilontarkan. Dia pun mengatakan bahwa tulisannya sudah banyak beredar dimana-mana. Saat itu, saya hanya bisa diam dan mencoba mendinginkan suasana dan tidak mau terbawa emosi sesaat. Karena penulisnya masih sangat junior, pendatang baru, saya pun menyampaikan bahwa semua penerimaan artikel sudah dilakukan secara sistem.
Menurut catatan reviewer, memang artikel itu belum layak diterima. Jadi, anda harus banyak bersabar. Jika saja, artikelnya dapat diperbaiki, maka Insya Allah juga akan diterbitkan. Untuk saat ini, dengan tegas, kami mengatakan, artikelnya tidak dapat diterima. Saya pun dengan sabar mengedukasi dan menyampaikan kepadanya bahwa menulis itu memang membutuhkan proses. Hasil tidak akan pernah menghianati proses. Untuk meyakinkannya, saya pun memperlihatkan kepadanya akan bagaimana proses penolakan yang saya alami baik ketika menulis di jurnal nasional terakreditasi, prosiding di konferensi internasional dan bahkan di jurnal internasional bereputasi.
Setelah mendapatkan penjelasan, akhirnya penulis itu pulang dengan muka masam dan mengkerut. Masih ada banyak masalah dalam pengelolaan jurnal. Namun karena ruang yang terbatas, penulis hendak menegaskan bahwa memang ada banyak kendala dan masalah dalam mengelola jurnal. Hanya saja, masalah dan kendala itu dapat dipecahkan jika para pengelolanya bersatu, bersabar, berdaya juang, dan tentunya juga harus memiliki tingkat keikhlasan yang tinggi. Keikhlasan adalah kuncinya. Orangnya disebut relawan. Tuhan bersama orang-orang yang ikhlas dan memberikan imbalan terbaik bagi orang-orang yang sabar.