Perjuangan Mengelola Jurnal

ID. 041-25022018-205637-031-03


Seorang pengelola jurnal sering disebut sebagai “orang gila”. Itu yang saya alami saat saya menjadi pengelola sebuah jurnal di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Kenapa disebut “orang gila”? Dia urusin semua hal terkait penerbitan artikel ilmiah milik orang lain sementara terkadang karyanya sendiri menjadi terlantar. Entah karena kesibukannya mengurus jurnal sehingga tidak sempat menulis sebuah artikel dari hasil risetnya atau bahkan dia tidak sempat melakukan riset yang hasilnya bisa dipublikasikan ataukah karena dia sendiri tidak “nyaman” jika artikelnya diterbitkan di jurnal yang dikelolanya. Hal ini saya alami saat saya berada di posisi sebagai pengelola jurnal ilmiah.

Bukan hanya julukan “orang gila” tetapi juga hampir saja saya menjadi “pengelola abadi” sebuah jurnal. Mengapa? Hampir semua teman-teman saya tidak ada yang mau mengelola jurnal. Mereka menganggap pekerjaan sebagai pengelola jurnal adalah pekerjaan yang melelahkan tanpa ada imbalan yang berarti jika dinilai dalam nominal uang. Istilahnya pengabdian. Pengelola hanya menerima “pengab”-nya saja tanpa ada “dian” atau cahaya.

Oleh karena itu, sejak tahun 2000 sampai dengan pertengahan tahun 2017 hanya saya yang bersedia mengelola jurnal, itupun sambil saya mengambil studi S3, sehingga terbitan terkadang tidak sesuai dengan edisinya, mundur atau utang terbitan dikarenakan sibuknya sang pengelola saat studi lanjut. Meskipun demikian, saya berusaha konsisten untuk tetap terbit supaya ada kontinuitas sebuah jurnal berkala.

Saat itu saya tidak begitu ideal untuk mendapatkan peringkat Akreditasi, meski pernah diperoleh sebelumnya. Saya memaklumi karena kesibukan studi saya sehingga pengelolaan jurnal menjadi kacau, tetapi bagaimana lagi..tidak ada yang mau mengelolanya. Saya tidak sampai hati jika jurnal yang ada di program studi saya sampai berhenti terbitannya. Banyak hal yang saya alami saat saya mengelola jurnal, dari kekurangan artikel, ngejar reviewer, ngedit format yang kacau, mengurus akreditasi yang lumayan rempong, dan masih banyak lagi pekerjaan yang harus dilakukan karena pengelolaan jurnal di prodi kami hampir semuanya ditangani sendiri karena kurangnya dukungan dari teman maupun universitas.

Tahun 2016 jurnal yang saya kelola ternyata gagal saat mengajukan akreditasi. Sebuah hantaman keras bagi saya sebagai seorang pengelola. Sempat saya menjadi patah semangat, karena kegagalan tersebut. Kembali masalah klasik terjadi, kekurangan artikel untuk edisi berikutnya. Saya harus susah payah menghubungi teman-teman kuliah S1, S2, dan S3 serta teman-teman yang sebidang agar mau mengirimkan artikelnya ke jurnal yang saya kelola.

Masalah klasik bagi jurnal yang tidak terakreditasi banyak dialami jurnal-jurnal lain. Tau sendirilah, dosen atau peneliti mengejar jurnal yang terakreditasi untuk mengejar kum atau jabatan akademik karena apa? Mau masuk Scopus susah dan lama. Jadi menjadi pekerjaan rutin saya yaitu cari-cari artikel. Terkadang kualitas dikesampingkan, yang penting jumlah artikel terpenuhi dan jurnal bisa terbit berkelanjutan. Belum lagi ngejar teman-teman sekampus untuk submit artikel, susahnya minta ampun. Seiring berjalannya waktu, alhamdulillah saat ini dukungan dari universitas lumayan baik dalam.pengelolaan jurnal. Meskipun saya tidak lagi menjadi seorang pengelola, saya tetap mendukung teman-teman yang solid dalam mengelola jurnal menuju akreditasi.

*Penulis adalah peserta TOT Relawan Jurnal Indonesia

Share:

On Key

Most Popular Posts