Kecemplung Menjadi Editor Jurnal

ID. 014-24022018-144415-011-03


Pada tahun 2015 selepas menyelesaikan studi S-3, saya kembali aktif di kampus menjadi dosen. Pada saat itu, prodi kami sudah memiliki jurnal, tetapi ada sedikit masalah dalam pengelolaan.   Terjadi tarik ulur karena jurnal bernuansa ilmu murni, tetapi berada di prodi pendidikan. Pengelola sebelumnya yang berlatar belakang ilmu murni ingin menggabungkan dengan program studi yang berbeda fakultas. Sebagian dosen senior tidak setuju, mengingat jurnal kami sudah terbit sejak tahun 2008. Akhirnya, pengelola lama menyerahkan pengelolaannya ke prodi dan saya ditunjuk sebagai editor. Dari sinilah perjalanan sebagai editor in chief dimulai. Awalnya, saya pikir pengalaman membantu mengelola jurnal kampus saat S-3 di Bogor cukup sebagai bekal. Ternyata berbeda sama sekali karena perubahan paradigma dari orientasi cetak menjadi orientasi online menggunakan OJS.

Sistem pengelolaan jurnal mengunakan OJS masih asing. Demikian juga dengan istilah di dalamnya. Singkatan OJS saja sering tertukar antara Open Journal Systems dan Online Journal Systems. Istilah dalam OJS, seperti aim and scope, review process, public ethic, open acces policy, editor board, reviewer board, author guideline, contact hanya tahu maknanya dan belum tahu isinya. Apalagi tentang manajemen jurnal, web design OJS, indeksasi, dan ARJUNA masih sangat asing. Awal menerima pelimpahan menjadi editor, selain menerima SK dari dekan FKIP, juga menerima file yang berisi administrasi jurnal. Isi file berupa email jurnal dan password-nya, username editor dan passwordnya, tata cara upload, dan artikel yang akan publish. Semua itu belum banyak saya pahami.

Setelah dua bulan menjadi pengelola jurnal, Februari 2016 ada edaran Hibah Tata Kelola Jurnal elektronik menuju akreditasi dari Kemenristekdikti. Bersama pengelola sebelumnya yang ternyata juga mengelola jurnal lagi di pascasarjana, saya mencoba peruntungan untuk membuat proposal. Modal saya untuk mengajukan hibah adalah jurnal sudah terbit sejak tahun 2008 dan tidak pernah terputus. Penulis jurnal sudah tersebar dari Aceh hingga Papua. Kendala baru muncul karena harus terdaftar di ARJUNA dan memiliki e-ISSN. Sambil membuat proposal sesuai panduan hibah,  saya pelajari  cara  mendapatkan e-ISSN. Masalah  kembali  timbul karena banyak pertanyaan di borang Arjuna yang belum kami kerjakan, seperti proses reviewer, jumlah kunjungan, serta pelibatan mitra bebestari. Setelah semua diisi, skor hanya mendapat 60.4. Pengumuman hibah jurnal pada bulan Mei 2016 menjadi awal kecemplung yang nyaman sebagai editor jurnal.

Sebagai editor yang pengajuan hibahnya diterima, saya mendapat undangan coaching clinic dan tanda tangan kontrak di Bogor. Saat itulah pertama kali mendapat pelatihan tentang jurnal elektronik dan berkenalan dengan salah satu pengembang jurnal dari Unnes. Hal ini menjadi pemicu semangat saya dalam mengelola jurnal. Beberapa kali kemudian, kami mengundang beliau ke Jambi untuk menjadi narasumber pelatihan jurnal dan saya pun sempat belajar langsung ke UNNES untuk setting OJS. Setelah mendapatkan hibah, perlahan tampilan jurnal mulai berubah. Namun demikian, pemahaman tentang OJS masih sangat terbatas. Bisnis OJS masih campur-campur. Sampai akhirnya, awal tahun 2017 mulai kenal RJI dan dimasukkan dalam grup WA. Rakernas ke-1 RJI di Sidoarjo, saya sempatkan hadir. Mulai tambah pemahaman tentang OJS, indeksasi, dan yang  lebih  penting  memiliki  jejaring  pengelola  jurnal  se-Indonesia.  Di Rakenas mulai kenal Mas Busro dan Mas Andri. Jika mengalami masalah tentang OJS, saya selalu bertanya pada Google, tetapi sebelum itu akan bertanya kepada Mas Busro dan Mas Andri dulu. Hal yang masih teringat adalah saat call paper masih menggunakan email, langsung disindir oleh Mas Andri, “Sudah OJS kok masih kirim artikel melalui email?” Padahal memang saat itu belum begitu menguasai sistem login sebagai author, sebagai editor, sebagai reviewer dan sebagainya.

Saat ini sudah banyak tempat bertanya jika terdapat masalah tentang pengelolaan jurnal. Salah satunya adalah dengan adanya grup-grup pengelola jurnal. Selama dua tahun mengelola jurnal, saya merasakan beberapa kemajuan, seperti terindeks google scholar, PKP, IPI, DOAJ serta ber-DOI. Hal terpenting adalah artikel yang masuk semakin banyak. Skor di ARJUNA mencapai 75, tetapi belum mengajukan akreditasi karena belum menggunakan software plagiarism dan reference manager. Masih perlu belajar. Semangat mengelola menjadi kendor saat iuran tahunan DOI harus dibayar dengan menggunakan dana sendiri karena tidak ada alokasi dana dari kampus. Besarnya $275, hampir setara dengan gaji satu bulan. Ngeri! Setelah meyakinkan pihak dekanat bahwa ber-DOI itu penting, baru sekarang dianggarkan.

Dampaknya, kalau dulu susah mendapatkan lima artikel sebagai syarat terbit, sekarang sudah memiliki banyak stok. Hal ini karena meningkatnya kepercayaan peneliti. Walaupun belum menjadi tutor, dengan semangat berbagi giatkan publikasi, saya membuat grup pegiat jurnal di lingkungan kampus. Selain itu, saya selalu memotivasi pengelola jurnal se-kampus agar terus maju dan menambah pengetahuan dalam pengelolaan jurnal. LPPM yang semula tidak peduli, mulai melihat dan mendukung penuh kegiatan yang saya susun, seperti: pelatihan manajemen jurnal, pendaftaran Arjuna, maupun coaching klinik proposal hibah. Saya sempat beberapa kali diminta untuk menjadi narasumber pelatihan jurnal di fakultas lain kampus saya. Saat ini, saya diamanahi sebagai ketua pengembang jurnal di fakultas dan sedang menikmati enaknya kecemplung menjadi editor jurnal.

*Penulis adalah peserta TOT Relawan Jurnal Indonesia

Share:

On Key

Most Popular Posts