My Journal is My Passion

Semasa di Yogyakarta dulu, saya ditempa banyak hal. Salah satunya adalah tercebur dalam dunia tulis menulis. Saya sempat mencoba berkali-kali mengirimkan tulisan dan beberapa dimuat di beberapa  media baik regional maupun nasional. Sempat pula kemudian saya diminta memegang sebuah buletin pada sebuah masjid yang saya aktif mengajar anak-anak di sana. Buletin yang khusus untuk para pengelola Taman Pendidikan Al-Quran di Yogyakarta. Pada perjalanannya kemudian saya diminta menangani sebuah buletin parenting hingga terbit sampai puluhan kali. Pada kedua buletin tersebut, ada satu hal yang sama persis: Saya menjadi pemimpin redaksi, sekaligus distributor, sekaligus marketing, layouter, dan lain sebagainya.

Maka, ketika saya dipercaya untuk mengelola jurnal di fakultas saya, dengan tanpa sungkan dan ba-bi-bu saya terima dengan kontan. Inilah passion saya, kata saya dalam hati waktu itu. Jurnal yang dipercayakan kepada saya tersebut sebenarnya sudah lama diwacanakan dan didiskusikan (dan sudah ada naskah artikel yang disiapkan) tetapi belum pernah terealisasikan. Tanggung jawab besar di pundak saya dan saya siap untuk itu. Saya siap dengan segala tetek-bengek perjurnalan.

Karena saya sudah sedikit banyak tahu proses penerbitan sebuah buletin dan kawan-kawannya, proses penerbitan awal jurnal saya ini tidak mengalami banyak kendala, terutama urutan bagaimana akhirnya sebuah jurnal diterbitkan. Hanya saja, saya dihadapkan pada medan baru. Pasalnya, saya adalah dosen baru di fakultas ini. Rasa sungkan kadang menghadang ketika harus meminta atasan untuk membuatkan SK untuk pengurusan ISSN. Namun, karena saya sudah membulatkan tekad bahwa jurnal ini harus terbit, maka saya harus bersikeras untuk mewujudkannya. Saya harus rahi gedek.

Alhamdulillah, volume pertama nomor pertama jurnal saya akhirnya terbit dengan segala keterbatasannya. Betapa tidak, hampir semua artikel yang ada adalah  dari dalam negeri (fakultas). Dari delapan artikel, hanya dua yang dari luar universitas. Itu pun karena sebuah faktor purba: pertemanan. Hasil cetakannya sama sekali tidak dapat memuaskan idealisme saya. Sebabnya, jurnal tersebut dicetak dengan mesin kecil dan ditangani oleh “agen” cetak, bukan percetakannya langsung. Turun cetak- nya pun molor dari rencana terbit semula. Namun begitu, hal yang terpenting, “Jurnal saya sudah terbit!” dan saya pun sudah sangat siap dengan masalah-masalah berikutnya.

Kendala berikutnya saat berproses mengelola jurnal saya adalah bagaimana mengoperasikan OJS atau Open Access Journal. Jujur, saya belum paham betul dengan makhluk aneh bernama OJS ini. Saat itu OJS menjadi wacana dalam dunia perjurnalan yang lagi hits di negeri ini. Karenanya saya pun bertekad untuk belajar. Apa pun caranya. Beberapa kali LPPM universitas kami mengadakan pelatihan tentang OJS, dan saya selalu didaftarkan oleh fakultas. Saat seperti inilah waktu yang baik bagi saya untuk bertanya-tanya tentang OJS. Ternyata usai mengikuti pelatihan-pelatihan semacam ini saya merasa masih belum paham.

Maka saya pun sering kali bertanya kepada pegawai IT di LPPM dan pakar IT universitas serta teman-teman di komunitas perjurnalan. Baik via SMS maupun WA. Ada beberapa yang welcome menerima curhatan saya dan secara detil memberi tahu saya cara-caranya. Tidak sedikit pula yang acuh bin tak acuh ketika saya bertanya ini-itu tentang pengoperasian OJS. Tetapi, sekali lagi, saya sudah siap dengan semua itu (*Yah, memang sih kadang sedikit jengkel dan marah karena dicuekin alias dikacangin. Normal, kan? hehe).

Pada edisi berikutnya, saya mencoba memperbanyak stok artikel dari skripsi mahasiswa. Setidaknya, saya tidak khawatir kehabisan stok. Maka, pada edisi ini, beberapa artikel dari para dosen dalam dan sebagian yang lain adalah artikel para mahasiswa yang sudah lulus. Terbitlah edisi kedua ini sesuai rencana dengan hasil cetakan jauh lebih baik dari sebelumnya. Untuk mencetak ini, saya percayakan langsung kepada percetakan resmi universitas. Lebih dari itu (dan ini penting!), di edisi ini saya sudah melakukan quick submit sendiri. Yes!

Pada perjalanannnya, saya kemudian menyadari, quick submit bukanlah jiwa OJS. Dalam OJS ini, ada proses yang puanjannnnggg… yang akan mengajarimu tentang arti kesabaran (*tsah…). Ada proses submission, reviewing, copyediting, proofreading, dan publishing yang kesemuanya itu dilakukan dalam bentuk daring (online). Saat itulah, proses simulasi dimulai: Saya siapkan dua browser berbeda. Di browser yang satu saya mencoba bertindak sebagai author dengan mengirimkan artikel, lalu di browser yang satunya saya bertindak sebagai journal manager atau editor. Dan seterusnya hingga proses publishing. Proses-proses tersebut saya coba (trial and error) dan amati. Akhirnya, saya paham celah dan seluk- beluknya.

Walhasil, pada edisi ketiga, jurnal saya sudah mulai full OJS. Artikel yang ada pun sudah lebih variatif. Artinya, sudah ada beberapa artikel murni dari luar universitas. Tidak sedikit dari para penulis itu juga gaptek (terutama dalam OJS). Saya coba bantu mereka sebisa saya. Di saat yang sama, saya masih tidak jarang pada teman-teman anggota komunitas relawan jurnal. Mereka pun dengan senang hati melayani kerewelan saya. Saya menikmati proses itu. Saya lalu juga menganggap jurnal saya sebagai mainan intelektual saya. Maka saya pun bersemangat menjalani proses itu, di sela-sela kesibukan utama saya sebagai dosen.

Alhamdulillah, kini jurnal saya (setahu saya) menjadi pioneer jurnal di universitas yang benar-benar melakukan proses OJS dalam proses penerbitannya dan sudah terindeks di lembaga pengindeks kredibel internasional. Tidak jarang, teman-teman pengelola jurnal dari fakultas lain meminta saya untuk sharing tentang OJS dan bagaimana mengoperasikannya. Bagi saya, itu bagian dari buah passion, kegigihan dan tekad serta kemauan kuat saya (bersama teman-teman pengelola lain) untuk membesarkan jurnal kami dan berbagi giatkan publikasi.

 

Share:

On Key

Most Popular Posts