Kesabaran Mengelola Jurnal

Kemajuan teknologi memang tidak dapat dihindari. Dari hari ke hari, segala hal dapat dilakukan dengan tanpa fisik. Salah satu contohnya adalah jurnal. Pada mulanya, jurnal berbentuk buku yang dicetak. Namun sejak Maret 2016, Kemenristekdikti justru meng- anjurkan setiap jurnal dalam bentuk elektronik. Tentu saja kebijakan ini juga menyebabkan perubahan dalam perjalanan sebuah artikel sampai terpublikasi. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman, kinerja seseorang tidak serta merta seiring sejalan dengan kemajuan teknologi. Bahkan kemajuan teknologi cenderung berlari.

Salah satu bentuk kemajuan teknologi pada publikasi jurnal, yaitu dengan digunakannya OJS. Banyak perubahan yang dilakukan dengan digunakannya OJS. Salah satu perubahan itu adalah pada perjalanan artikel. OJS meminta seluruh proses juga tersistem secara daring (online). Proses yang dimaksud adalah mulai dari submit atau mendaftar sampai dengan publish atau terbit. Adapun orang-orang yang berperan di OJS, meliputi: editor in chief, editor, dan reviewer atau mitra bebestari. Setiap bagian memiliki peran penting dalam perjalanan artikel.

Editor in chief berperan mengatur hidup dan tidaknya sebuah jurnal. Artinya, editor in chief memiliki fungsi dan tugas manajerial maupun teknis. Oleh karena itu, keberlangsungan sebuah jurnal sangat bergantung pada kepiawaian editor in chief sebagai pemimpinnya. Sangat mungkin editor in chief bekerja sendirian, mulai dari: mencari artikel, mengedit, mengatur tata letak, menelaah, serta menerbitkan. Hal ini biasanya terjadi pada saat pertama kali terbit, yakni Volume 1 Nomor 1. Begitu sulitnya memperoleh sebuah artikel. Demi mendapatkan sebuah tulisan, editor in chief tidak segan dan tidak malu untuk menghubungi satu demi satu teman-teman yang sekiranya memiliki tulisan dan mau untuk dipublikasikan. Mengapa? Karena banyak juga teman yang memiliki tulisan, tetapi tidak mau untuk dipublikasikan.

Akhirnya diperoleh beberapa tulisan. Tulisan-tulisan tersebut sebenarnya belum layak untuk disebut sebagai artikel. Namun demikian, demi dapat memenuhi Volume 1 Nomor 1, maka editor in chief melakukan perbaikan. Perbaikan dalam banyak hal. Perbaikan artikel yang disesuaikan dengan gaya selingkung jurnal. Saat itu, sekali terbit ada 8 artikel, maka editor in chief juga harus mengedit artikel sebanyak itu. Sungguh pengalaman luar biasa. Dengan terus berikhtiar, akhirnya Volume 1 Nomor 1 dapat terbit sesuai target, yakni 8 artikel. Rasanya puas dan lega ketika melihat jurnal sudah terbit secara daring. Seiring berjalannya waktu, ternyata masih banyak kesalahan dan kekurangan di artikel yang telah terbit tersebut. Ya, inilah hasil kerja sendiri. All in one.

Setelah terbit Volume 1 Nomor 1, mulailah kebingungan untuk Nomor 2 nya. Bingung karena tidak ada naskah dan bingung karena masih saja kerja sendirian. Sama seperti sebelumnya, editor in chief berburu naskah. Namun kali ini tidak seberat pertama. Kerja editor in chief berfokus pada editor. Jika pada Volume 1 Nomor 1 kerja, all in one, dari mendaftar sampai terbit, maka di Volume 2 ini cukup sebagai editor dan mitra bebestari. Para penulis sudah bisa mengunggah artikelnya sendiri. Itu pun dengan diberikan tutorial terlebih dahulu. Bahkan tidak jarang tutorial dilakukan secara daring.

Pertanyaannya, ke mana dan dimanakah peran editor dan mitra bebestari? Nama-nama di editorial team, baik editor maupun mitra bebestari, tidak lebih hanya sebagai pelengkap alias formalitas. Ada satu dua Editor yang bekerja, tetapi secara manual. Para editor tidak cepat tanggap, jika yang mengirim melalui OJS. Mintanya diingatkan dan dikirim via email pribadi. Hal yang sama juga berlaku pada para mitra bebestari. Secara manual, para editor dan mitra bebestari ini memang sudah mumpuni, tetapi tidak demikian jika menggunakan OJS. Mereka sangat tidak bersahabat dengan OJS. Jangankan bersahabat, mereka justru tidak kenal atau tidak tahu. Acap kali mereka bertanya username dan password untuk login.

Kadang tidak sabar juga dengan mereka, tetapi bagaimana lagi?! Kuncinya hanyalah kesabaran. Itulah satu kata yang bisa diucapkan di dalam hati. Walaupun editorial teamnya banyak, tetapi yang kerja tetap all in one. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman, banyak faktor yang menyebabkan para editorial tim tidak bekerja sebagaimana seharusnya, misalnya: pertama, tidak dapat bekerja secara daring. Masih menyukai kerja secara manual; kedua, kurang berkomitmen terhadap tugas, baik sebagai editor maupun mitra bebestari; ketiga, belum memahami sistem kerja jurnal yang menggunakan OJS; serta keempat, loyalitas sebagai pengelola jurnal yang masih rendah. Semua ini menjadi tugas bersama agar di kemudian hari, para pengelola jurnal dapat bekerja sesuai tupoksi (tugas, pokok, dan fungsi). Harapannya, keadaan ini dapat mengantarkan jurnal menuju jurnal berkualitas dan bereputasi, baik nasional maupun internasional.

 

Share:

On Key

Most Popular Posts