Balapan tidak Bernominasi

Dalam suatu perjalan, saya mengikuti sebuah mobil unik yang melaju 100 km/jam di sebuah tol. Saya berusaha mendekati mobil tersebut agar dapat melihat keunikannya secara dekat. Namun lama-kelamaan mobil itu melaju kencang di atas 100 km/jam. Saya mulai bimbang, di satu sisi saya tidak pernah mengendarai mobil dengan laju lebih dari 100 km/jam. Namun karena rasa keingintahuan yang tinggi, saya berusaha mendekatinya hingga tidak sadar, jarum rpm mobil yang saya menunjukkan bahwa mobil yang saya kendarai melaju dengan kecepatan 130 km/jam. Bukannya rasa keingintahuanku terpuaskan, justru mobil tersebut menambah kecepatanya. Kondisi jalanan sedang sepi, karena memang di tol dan saat itu waktu menunjukkan pukul 22.30 WIB. Saya pun tidak puas, saya berusaha mendekati mobil itu dengan laju tinggi, hingga jarum rpm mobil menunjukkan kecepatan 160 km/jam. Ada perasaan takut, ada juga perasaan senang karena dapat melihat mobil yang unik tersebut dengan jelas.

Sepenggal cerita tersebut mengisahkan saya selama menjadi pengelola jurnal. Lingkungan, pertemanan, persahabatan membuat bahkan memaksa saya untuk terus maju. Mobil yang menurut saya unik dan selalu saya dekati ibaratkan seorang atau sekumpulan orang yang lebih paham dari saya tentang tata kelola jurnal. Banyak belajar kepada mereka, tanpa saya sadari ilmu yang saya dapatkan juga akan semakin berkembang mendekati apa yang mereka ketahui. Menyampaikan ilmu kepada orang lain bagi saya juga merupakan suatu ibadah, sehingga apa yang saya ketahui harus disampaikan ke orang lain juga.

Musim kemarau menghilir baluk. Itulah satu peribahasa yang mewakili kondisi pengelola jurnal saat ini. Bagaimana tidak, pagi, siang, malam telah di korbankan segalanya hanya untuk urus sebuah jurnal. Tidak hanya itu, istri dan anak pun telah dikesampingkan. Di beberapa kegiatan forum ilmiah seperti workshop tata kelola jurnal, kerap kali mereka memberi julukan “orang gila” untuk pengelola jurnal. Bukannya tersinggung, namun semua pengelola jurnal membalas dengan tawa terbahak-bahak.

Saya adalah salah satu pengelola jurnal yang fokus dalam bidang olahraga dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Jawa Timur bagian tengah. Pertama kali mengelola jurnal pada akhir tahun 2015 sebagai editor in chief. Mulanya saya menganggap jurnal itu seperti “quick chicken” yang mana dapat disajikan dengan cepat. Ternyata, setelah mengikuti acara workshop dan Musyawarah Nasional ke-1 Relawan Jurnal Indonesia di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), akhirnya wawasan terkait tata kelola jurnal terus bertambah dan tercerahkan. Berawal dari situ, tumbuhlah “passion” sebagai pengelola jurnal, bertambah pula juga tingkat kegilaan yang saya miliki. Aneh, bertambah “gila” kok bahagia, ya itulah saya. Semenjak saat itu, saya mulai gencar memperbaiki sistem tata kelola jurnal yang saya kelola. Pertama kali yang saya lakukan adalah mengajak ahli dan pakar dalam bidang olahraga sebanyak-banyaknya untuk bekerjasama sebagai mitra bebestari di jurnal yang saya kelola. Kedua, melakukan perbaikan tampilan, meskipun basic ilmu saya adalah hanya sebagai dosen olahraga, tetapi saya berusaha memahami CSS, system plugin, custom block dan lainnya. Ketiga, mengindekskan jurnal ke berbagai lembaga pengindeks, seperti Google Scholar, Indonesia Publication Index (IPI),  Indonesian  Scientific  Journal  Database (ISJD),  Indonesia  Onesearch dan yang paling membanggakan terindeksnya jurnal yang saya kelola ke indeksasi DOAJ serta menjadi member of Crossref.

Semua itu tidak lepas dari peran yang dilakukan oleh RJI. Kehadiran RJI mendukung saya untuk benar-benar menjadi orang “gila” dalam mengelola jurnal. RJI hadir di tengah para pengelola jurnal di Indonesia terus membawa dampak baik terhadap tata kelola jurnal. Saya turut bahagia, menjadi bagian dari RJI yang tegas dengan jargonnya berbagi, giatkan publikasi.

Saya beranggapan bahwa, jurnal merupakan wadah publikasi di era digital untuk kepentingan bersama, khususnya bagi dunia pendidikan. Sejak surat edaran Dirjen Dikti nomor 152/E/T/2012 dikeluarkan, semakin banyak tuntutan untuk publikasi ke jurnal ilmiah. Sekarang saja, di beberapa Perguruan Tinggi untuk dapat mengikuti ujian tesis atau disertasi, mewajibkan mahasiswa mempublikasikan di jurnal ilmiah.Belum lagi seorang dosen dengan jabatan asisten ahli misalnya, jika ingin mengusulkan jabatan ke lektor harus memiliki publikasi di jurnal nasional terakreditasi. Hibah Ristekdikti juga demikian mewajibkan luaran penelitian salah satunya harus terbit di jurnal.

Dalam satu tahun anggaran, ada sekian ribu dosen yang mendapatkan hibah dan mewajibkan mempublikasikan pada jurnal. Bayangkan, betapa pentingnya jurnal saat ini. Namun, apakah sebanding dengan jerih payah proses tata kelolanya? Sebagai contoh, jurnal nasional yang fokus dalam bidang olahraga yang ada di Indonesia belum ada satupun yang terakreditasi, hal ini menunjukkan betapa buruknya tata kelola jurnal disamping faktor-faktor yang lain selain tata kelola. Tidak sedikit jurnal hanya dikelola oleh satu orang saja, dosen pula yang mengelolanya yang menurut saya tugas utamanya dosen bukan sebagai tenaga administrator. Hal itu diperparah dengan dukungan PT terhadap pengelolaan jurnal. Fasilitas yang diberikan PT terhadap pengelolaan jurnal sangat minim sekali. Hal inilah yang membuat saya menjadikan “journal is my passion”.

Saya berharap, ke depan, semua Perguruan Tinggi tergugah untuk memperhatikan tata kelola jurnal yang ada di lembaganya. Mulai dari penyediaan ruangan, komputer, printer, sumber daya manusia dan lainnya. Bukan saya satu-satunya yang mengelola jurnal, melainkan sebuah tim redaksi. Yang mana masing-masing peran dalam pengelolaan jurnal terisi oleh sumber daya manusia yang punya semangat mengelola sesuai tata kelola yang seyogianya. Berbagi, giatkan publikasi.

 

Share:

On Key

Most Popular Posts