Juneman Abraham
Psikolog Sosial Universitas Bina Nusantara
Ketua Kompartemen Riset dan Publikasi Himpunan Psikologi Indonesia
Anggota Pusat Studi Publikasi Ilmiah (PSPI)
Jurnal predator. Istilah ini sering dikemukakan oleh para penulis yang membahas topik-topik seputar riset dan publikasi ilmiah. Kendati demikian, belum banyak (kalau bukan: tidak ada) penulis, khususnya di Indonesia, yang membuka istilah jurnal predator sampai terang.
Memang banyak penulis dan pembicara membahas tentangnya dengan segala sebab, akibat, dampak, dan sebagainya. Akan tetapi, tidak banyak yang bersedia mempertanggungjawabkan istilah ini. Hal tersebut merupakan titik kritis dari banyak pembahasan tentang jurnal predator yang mendesak untuk dijawab. Titik kritis dimaksud tidak dapat dikecualikan terdapat pula dalam artikel baru-baru ini yang bertajuk “Predatory publishing in Scopus: evidence on cross-country differences” (2021), yang menempatkan Indonesia dalam urutan kedua negara di dunia yang menghasilkan artikel dalam jurnal predator.
Tanpa pertanggungjawaban yang komprehensif, tulisan-tulisan yang menggunakan istilah “jurnal predator”, seperti artikel di atas, juga tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya, ada urgensi untuk menjernihkan istilah jurnal predator setepat-tepatnya, sebelum membahas hal lain-lain yang berhubungan dengannya. Inilah tujuan artikel ini.
Jeffrey Beall (2015) mengemukakan kriteria penerbit akses-terbuka predator (predatory open access publishers), baik dari aspek penyunting dan staf, manajemen bisnis, integritas, standar, dan lain-lain. Silakan membacanya di sini. Kriteria jurnal predator yang lain terdapat pada laman ThinkCheckSubmit. Apabila kita lebih banyak menjawab “Tidak” pada daftar Periksa (Check), maka, menurut panduan tersebut, lebih besar kemungkinan bahwa jurnal yang menjadi objek periksa merupakan jurnal predator. Lanskap yang cukup luas mengenai sejarah dan perdebatan seputar kriteria jurnal predator dapat dibaca melalui laman Wikipedia.
Kendati demikian, dari semua literatur yang saya sebutkan tersebut, belum cukup tandas penekanan pada kesadaran kritis tentang jurnal predator. Klaim Terry Mart (2013) bahwa cukup mudah untuk mengenali ciri-ciri jurnal predator, pada akhirmya, tidak lagi tepat. Dalam berita tersebut, misalnya, Mart (2013) menyampaikan bahwa oposisi dari jurnal predator adalah jurnal berkualitas, yang terindeks secara global. Padahal, sebagaimana kita akan temukan, indeksasi global bukanlah kriteria esensial dari sifat predator atau tidak dari sebuah jurnal.
Bincang Nusantara ke Sejengkal Lebih Dalam
Pada Jumat, 11 Februari 2021, saya diundang untuk berbicara dalam sebuah forum akademik di Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara, yakni “Bincang Nusantara KFC” (selanjutnya, saya sebut: Bincang). Saya diminta oleh Panitia Bincang untuk membicarakan situasi, tantangan, dan peluang publikasi Fakultas Humaniora.
Sumber primer paparan saya tersebut adalah sebuah artikel berjudul “Why I Publish in “Predatory” Journals–and Why You Should, Too“, yang saya ketahui informasi keberadaannnya dari salah seorang Ketua Sekolah Tinggi yang berlokasi di Sumatera Utara, dalam Forum Kerja sama Perguruan Tinggi (FKPT). Bibliografi artikel tersebut adalah sebagai berikut:
Burgess-Jackson, K. (2020). Why I Publish in “Predatory” Journals-and Why You Should, Too. Philosophy International Journal, 3(4), 000160. https://doi.org/10.23880/phij-16000160
Ringkasnya, setelah membaca seluruh artikel ini dan belum berkesempatan menyajikan seutuhnya dalam Bincang (meskipun telah saya siapkan salindianya), saya memutuskan untuk menerjemahkan artikel tersebut ke bahasa Indonesia. Izin penerjemahan dan publikasi di blog, saya peroleh langsung dari penulisnya, Associate Professor Keith Burgess-Jackson, J.D., Ph.D. dari The University of Texas at Arlington, USA, melalui surel pada 18 March 2021, pukul 21:15 WIB.
Artikel Burgess-Jackson saya pandang sebagai sebuah upaya serius yang membawa kita sejengkal lebih dalam untuk mengenali jurnal predator. Mengapa saya tidak menggunakan frasa “selangkah lebih maju”, melainkan “sejengkal lebih dalam”?
Apabila kita mencermati berbagai kriteria jurnal predator yang saya sertakan tautannya di atas, juga apabila kita cari di Google Scholar artikel-artikel ilmiah yang mengupasnya, kita akan menangkap bahwa mayoritas dari kriteria jurnal predator yang dikemukan merupakan kriteria teknis. Burgess-Jackson (2020) menyajikan pembahasan yang lebih mendalam secara substantif. Kriteria teknis mungkin membawa kita selangkah lebih maju dalam mengenali jurnal predator, namun pembahasan substantif akan membawa kita sejengkal lebih dalam dalam memahaminya. Mengapa saya menggunakan kata “mungkin”? Tanpa kedalaman, sulitlah kita selangkah lebih maju; kalau pun tampak lebih maju, boleh jadi itu kemajuan semu dalam pemahaman kita mengenai jurnal predator.
Pembahasan Burgess-Jackson (2020) dapat menggugah kesadaran kita, atau bahkan mengganggu kesadaran kita selama ini mengenai jurnal predator. Ternyata, banyak kriteria jurnal predator yang sangat tidak memadai, namun selama ini kita pegang. Tidak hanya itu, Burgess-Jackson (2020) juga mengajak kita untuk melepaskan hal-hal yang selama ini kita yakini (yang, barangkali, tidak pernah kita uji) terkait dengan jurnal predator.
Meskipun merupakan sebuah artikel filsafat/filosofi, menurut hemat saya, uraiannya cukup mudah untuk diikuti oleh akademisi Indonesia yang sudah memperoleh kuliah Filsafat Umum, Filsafat Manusia, atau Filsafat Ilmu. Akademisi pemula pada umumnya sudah dapat menikmati artikel ini tanpa harus memiliki latar belakang pengetahuan spesifik tentang dunia publikasi ilmiah. Saya memutuskan untuk menerjemahkannya secara penuh, bukan menyadurnya, atau pun menyajikan ringkasannya, agar pembaca memperoleh keutuhan alur berpikirnya. Burgess-Jackson (2020) telah mengemukakan dengan baik bagaimana ia mendefinisikan jurnal predator, serta siapa yang memenuhi kriteria jurnal predator, dan siapa yang bukan.
Daya Kritis dan Integritas Akademik
Tentu saja, kita boleh tidak setuju dengan beberapa pandangan beliau yang cukup bahkan sangat radikal. Akan tetapi, pertama, bukankah berpikir radikal (dalam arti sejatinya, yaitu berpikir hingga ke akarnya; harus dibedakan dari radikalisme) memang merupakan ciri pemikiran kefilsafatan? Kedua, maksud utama dari tulisan ini adalah menambahkan perspektif mengenai hakikat jurnal predator, sehingga diharapkan di Indonesia, tidak hanya ada satu pandangan (monoton, apalagi menyesatkan) dalam mendefinisikan jurnal predator.
Ketiga, tulisannya tidak terlepas dari siapa dirinya. Kalau kita selama ini mengenal istilah “mitra bestari” untuk menyebut reviewer/penelaah, maka Burgess-Jackson (2020) saya kira adalah seorang “penulis bestari”. Dengan demikian, ketika kita membaca bahwa ia mengemukakan, “We do not appreciate (or expect) criticism, constructive or otherwise … Sometimes, to put it bluntly, the reviewers’ comments are stupid“, maka saya mengajak pembaca untuk tidak tergesa-gesa, lebih-lebih lagi emosional, untuk menilai kalimat ini sebelum membaca secara utuh konteks penyampaiannya.
Saya mengharapkan agar pembaca, sebagaimana saya, memperoleh kedalaman pandangan tentang jurnal predator dari artikel ini. Untuk itulah, saya menerjemahkan menjadi berbahasa Indonesia, dan menyunting versi berbahasa Indonesia itu selama sepekan. Meskipun dengan menerjemahkannya secara penuh, saya berhak disebut sebagai penulis atau pun co-author dari artikel tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh sejumlah ahli (lihat, misalnya, Staniszewska (2011), “The Translator as The Second Author“), saya tidak mengambil manfaat (benefit) dalam hal ini.
Di samping itu, apabila ada juga pembaca yang merupakan pembuat kebijakan di bidang Ristek (riset dan teknologi) maupun Dikti (pendidikan tinggi), semoga artikel ini dapat menjadi masukan untuk menguatkan definisi dan kriteria tentang jurnal predator di Indonesia.
Kemampuan atau daya berpikir kritis merupakan salah satu jenis kemampuan yang diharapkan pada mahasiswa Indonesia. Artikel Burgess-Jackson (2020), apabila diadopsi dan dikembangkan sejumlah bagiannya (tidak mesti seluruhnya) dalam kebijakan, dapat menjadi salah satu teladan konkret yang dapat dipelajari mahasiswa-mahasiswi di Indonesia tentang berpikir kritis (critical thinking) dan kesadaran kritis (critical consciousness).
Yang teramat penting dari artikel Burgess-Jackson (2020) adalah bahwa ia menggunakan dua pokok argumen mendasar ketika membahas jurnal predator, yakni (1) argumen keadilan, dan (2) argumen moralitas. Dua buah argumen yang sejatinya sangat lekat dengan Sila Kelima dan Sila Kedua dari Pancasila, dasar negara kita. Dengan argumen keadilan, ia menyatakan bahwa kriteria kita tentang jurnal predator selama ini sesungguhnya telah merusak rasa keadilan kita (our sense of justice) sebagai manusia. Dengan argumen moralitas, ia mengajak kita untuk menjadi manusia seutuhnya, yang mengindahkan moralitas daripada kepentingan diri (lihatlah bagian terakhir sebelum Kesimpulan).
Saya berpandangan bahwa dua pokok argumen yang dihadirkan Burgess-Jackson (2020) itulah yang merupakan komponen esensial dari sebuah konstruk yang bernama Integritas Akademik. Jelasnya, Integritas Akademik bukanlah semata-mata persoalan mencegah dan menanggulangi permasalahan plagiarisme, fabriksasi, falsifikasi, kepengarangan tidak sah, konflik kepentingan, dan pengajuan jamak — sebagaimana yang sering kita dengar dalam berbagai seminar dan lokakarya– melainkan justru yang penting adalah fondasinya: Mampu mengambil sikap moral berdasarkan maksimalisasi perjuangan intelektual, perdebatan etis, dan pengembangan rasa keadilan sebagai manusia, serta berani bertindak untuk berpihak pada sikap moral itu.
Salah satu objek integritas akademik, jelasnya, adalah relasi antara penulis dengan jurnal/penerbit, juga dengan demikian —karena penulis tidak hidup/bekerja dalam ruang hampa— relasi antara sistem akademik (termasuk sistem riset dan publikasi) dengan pihak jurnal/penerbit. Relasi yang eksploitatif dan tidak setangkup (asimetris) antar pihak, sebagaimana diulas oleh Burgess-Jackson (2020) adalah relasi yang, menurut hemat saya, berkontribusi terhadap amputasi integritas akademik. Potensi “korupsi akademik” yang saya dkk. ungkap dalam Jalan Evolusi Bibliometrik Indonesia, kiranya menemukan relevansinya kembali dalam konteks ini.
Orang atau pihak yang berintegritas akademik dapat, wajar, dan bersedia digugat (akuntabel), dan jawaban atas gugatan itu adalah pertanggung jawabannya atas sikap dan tindakan moral yang diambilnya itu. Dengan demikian, Integritas Akademik (yang merupakan bagian dari Etika), bagi saya, bukanlah persoalan perintah dan larangan, bukan soal mana yang putih/boleh dilakukan dan mana yang hitam/tidak boleh dilakukan, melainkan lebih kepada soal pertanggung jawaban sikap dan tindakan itu. Hal inilah yang saya lihat masih sangat luput dari pendidikan Integritas Akademik kita di Indonesia pada berbagai tingkatan. Nah, artikel Burgess-Jackson (2020) dapat menjadi salah satu pintu masuk menuju ke sana!
Terjemahan dan Bacaan Lebih Lanjut
Berikut ini saya sajikan artikel yang telah saya terjemahkan secara penuh. Sejumlah pokok pikiran penulis dalam artikel ini sebenarnya bukan gagasan yang benar-benar baru. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, sudah ada tulisan yang cukup komprehensif terkait dengan bagian Mempertahankan Kepemilikan (Retaining Ownership), yakni Pengalihan Hak Cipta pada Jurnal Nasional dan Internasional. Sehubungan dengan Akses Terbuka, telah terbit artikel Open Access in Indonesia. Burgess-Jackson (2020) juga belum mendiskusikan pracetak (pre-/post-print) sebagai potensi solusi dari sebagian permasalahan yang dikemukakannya. Saya juga telah menyinggung soal e-science sebagai alternatif sistem jurnal ilmiah.
Kendati demikian, cara Burgess-Jackson menyampaikan gagasannya cukup, bahkan sangat, komprehensif, dalam arti: mencakup banyak pertanyaan dosen, peneliti, dan pengelola jurnal ilmiah di Indonesia mengenai jurnal predator.
Akhirul kalam, Selamat menikmati, dan Selamat bertransformasi!
Artikel Burgess-Jackson terjemahan Bahasa Indonesia secara penuh dapat klik tautan ini.
Sumber: repost dari
https://www.kompasiana.com/juneman/60580e368ede4855c635b6c3/butuh-kesadaran-kritis-mengenali-jurnal-predator-implikasi-terhadap-integritas-akademik?page=all#section2