Menjadi Pengelola Jurnal: Kaya Pengalaman dan Memperluas Jaringan

Saya merupakan seorang pemula dalam urusan jurnal. Saat diangkat menjadi dosen tetap, saya langsung diserahi tugas untuk mengelola jurnal program studi. Bagi saya, pengelolaan jurnal merupakan hal yang baru dan belum ada pengalaman. Pada akhir 2016, saya memulai pengelolaan jurnal dengan mengajukan ISSN, baik cetak maupun online. Pada saat pengajuan tersebut, saya yang bisa dianggap lugu dalam pengelolaan jurnal beberapa kali diminta untuk memperbaiki berkas. Meskipun sebelum mengirim berkas telah membaca berbagai macam artikel terkait hal tersebut, tetap saja saya yang awam ini melakukan berbagai macam kesalahan. Untungnya, pusat layanan LIPI dengan setia dan tidak pernah bosan mengirimkan email dan komentar perbaikan berkas. Alhasil, dalam jangka waktu dua minggu ISSN jurnal saya pun terbit.

Pada awal 2017, jurnal kami pertama kali terbit. Hal ini merupakan hasil kerja keras selama tiga bulan. Setelah ISSN terbit, ternyata pekerjaan berikutnya adalah memahami sistem pengelolaan jurnal yang baik dan benar. Saya mulai kerja keras untuk mempelajari pengelolaan jurnal melalui OJS melalui berbagai artikel yang dapat diakses di internet. Selama satu bulan, saya mulai mempersiapkan semua hal untuk penerbitan jurnal, seperti template, sistematika penulisan, dan berbagai macam pernak- pernik yang muncul di OJS. Selain itu, kesulitan lainnya adalah keluguan saya terkait tampilan OJS. Saya belajar untuk mengutak-atik template OJS sesuai dengan tampilan dari jurnal sebidang yang telah terakreditasi. Akhirnya, saya menelusuri Google dan menemukan berbagai artikel dari RJI terkait modifikasi tampilan OJS. Alhasil, artikel tersebut membantu saya untuk menyulap tampilan website jurnal kami seperti sekarang.

Masalah berikutnya yang tidak kalah penting terkait naskah yang diterbitkan. Pada saat pengajuan, saya tetapkan 10 naskah yang dicantumkan dalam daftar isi. Hal ini tentunya berdasarkan pertimbangan kesesuaian naskah dengan cakupan jurnal. Namun, pada kenyataannya, beberapa penulis yang juga merupakan teman sejawat ternyata belum melakukan perbaikan naskah sesuai dengan panduan perbaikan dari editor. Akhirnya, dengan sangat terpaksa, pengelola pun menunda penerbitan jurnal selama satu minggu. Hal ini tentunya bagaikan buah simalakama. Di satu sisi, pengelola ingin menerima naskah tersebut, tetapi belum siap. Di sisi lain, pengelola juga tidak ingin menolak naskah tersebut dikarenakan tidak cukup waktu, bahkan tidak mampu untuk mencari naskah yang lain. Tentunya, pengelola jurnal yang masih “bayi” ini tidak ingin kehilangan penulis yang telah mencari setengah mati para penulis yang mau menyumbangkan artikelnya untuk diterbitkan.

Kesusahan pengelola jurnal tentunya bukan hanya dalam hal mengurus naskah, tetapi juga memikirkan interaksi dari seluruh komponen yang ada di dalamnya. Tidak dapat dipungkiri, pengelolaan jurnal sesuai ketentuan yang baik tidaklah mudah. Di satu sisi, jurnal membutuhkan artikel yang berbobot untuk menjamin kualitas jurnal. Di sisi lain, artikel yang masuk ke dapur redaksi tidaklah seperti yang diharapkan. Hal ini tentunya menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi pengelola jurnal baru. Semakin banyak artikel, semakin beragam pula interaksi antara pengelola dan penulis. Dalam hal ini, pengelola jurnal dituntut menjadi seorang humas secara instan dalam menghadapi berbagai tingkah laku yang berbeda-beda. Berdasarkan pengalaman, terkadang banyak sekali penulis yang masih belum menyadari tentang tata tulis jurnal. Budaya “yang penting publish” menjadi dilema sendiri bagi pengelola. Kurangnya kesadaran mengenai aturan penulisan jurnal membuat pengelola setengah hati untuk menerimanya. Apalagi saat kekurangan naskah untuk terbit. Alhasil, pengelola pun dengan terpaksa melakukan penolakan dan membuka komunikasi dengan penulis untuk berkenan memperbaiki sesuai dengan panduan penulisan jurnal yang berlaku.

Kendala lainnya yang dihadapi oleh para pengelola jurnal baru adalah perkataan underestimate dari dosen senior. Saya sebagai dosen baru di lingkungan kampus tentunya masih dipandang sebelah mata pada saat menjadi pengelola jurnal yang baru saja terbit. Pada saat saya menghadap pimpinan untuk meminta restu, di ruang tunggu saya bertemu dengan salah satu dosen yang memandang kami sebelah mata. Beliau mengatakan bahwa tidak ada gunanya mengelola jurnal di program studi. Hanya menambah pekerjaan dan tidak ada hasil yang didapatkan. Suatu perkataan yang menyakitkan dan membuat semangat kami mulai luntur. Namun, dalam enam bulan berikutnya, kami dapat membuktikan bahwa pengelolaan jurnal di tingkat program studi tidaklah sia-sia. Setidaknya kami sudah mendapatkan jaringan kerjasama antar perguruan tinggi secara nasional, bahkan internasional melalui pengelolaan jurnal. Dengan kata lain, menjadi pengelola jurnal merupakan sebuah anugerah bagi saya pribadi dan memberikan sebuah kesempatan untuk memperluas jaringan keilmuan secara nasional dan internasional.

 

Share:

On Key

Most Popular Posts