Belajar Mengelola Jurnal Sama Halnya Belajar Memaknai Filsafat

ID. 082-26022018-232648-063-04


Akhir tahun 2017 lalu saya dipercaya menjadi asisten manajer pada jurnal Program Studi. Sebuah amanah yang dititipkan oleh pimpinan Prodi yang menaruh harapan besar untuk jurnal ini agar terus bertahan. Dengan semangat yang minus sebab pesimis menggerogoti jiwa, ada keraguan pada diri penulis, karena khawatir tidak mampu menjadi pengelola jurnal yang baik yang dapat beradaptasi atas setiap kesibukan yang mendera.

Langkah demi langkah sebagai newbie, maka untuk meminimalisir rasa pesimis, saya mencoba kembali memahami hakikat belajar filsafat yang kemudian mengintegrasikannya ke dalam hakikat belajar mengelola jurnal. Bahwa antara manusia dan ilmu itu, posisi manusia berawal dari tidak tahu, kemudian akan menjadi tahu apabila bersungguh-sungguh menyelami.

Dari manusia yang “gaptek” (gagap teknologi) akan menjadi seorang yang mahir dan profesional jika saja serius belajar dan mempraktek- kannya. Tetapi, tidak dapat dimungkiri dalam proses dan perjalanannya menjadi pengelola jurnal, berbagai macam pokok masalah pasti akan dirasakan.  Maka,  menjadikan  sabar  dan  do’a  sebagai  penolong  saat masalah dan kerumitan melanda adalah salah satu cara menstabilkan jiwa. Dengan demikian, beberapa hal ini dapat mengantarkan pengelola jurnal menjadi pribadi yang bijaksana.

Berangkat dari pembelajaran hidup di atas, pada tahun 2018 adalah tantangan baru bagi saya. Sebab tugasnya tidak lagi sekedar menjadi asisten editor yang hanya bertugas mengelola administrasi sistem editorial (pengiriman, meninjau dan penerimaan atau penolakan proses atau artikel). Tetapi, editor in chief menugaskan untuk menjadi perintis pada sebuah jurnal pada Prodi tetangga, sekaligus saya dipersiapkan sebagai regenerasi dari pengelola jurnal di Prodi sendiri.

Berbicara tentang pengalaman, baik suka maupun duka sebagai pengelola jurnal. Sebenarnya saya belum memiliki pengalaman yang begitu banyak. Menjadi pengelola jurnal dengan tugas asisten editor tidaklah sekelumit nasib editor in chief. Walau demikian, dalam sepak terjang karir ini ada saja hal yang kadang mengharuskan saya untuk memilih sebuah pilihan yang meruntuhkan ego pribadi.

Pada masa awal sebagai asisten editor pada Jurnal ini, sistem pelayanan administrasi dan proses seleksi artikelnya sudah menggunakan sistem OJS atau jurnal berbasis online. Baik pada tahap pengiriman, peninjauan, review oleh peer-reviwer hingga pemberitahuan hasil (penerimaan atau penolakan) ke semuanya sudah dilakukan dengan sistem online. Tentu untuk menjaga reputasi jurnal, maka tidak ada kompromi bagi calon kontributor pada jurnal yang tidak mau melalui proses tersebut.

Pernah suatu waktu saya merasa tertekan oleh keadaan. Dimana beberapa kawan yang berada di Pulau seberang di Indonesia Timur meminta tolong untuk dimuat artikelnya pada jurnal yang saya kelola, tetapi tidak ingin melalui proses seperti yang dijelaskan di atas. Beberapa kawan tersebut hanya ingin “terima beres” dan berani mengeluarkan imbalan jika keinginannya dipenuhi. Jika tidak, maka ukhuwwah yang sudah lama terbina aktif akan menjadi renggang dan saya akan dilabeli sebagai seorang yang tidak setia kawan. Sebuah pilihan yang sulit terselesaikan, karena jurnal yang sedang saya dikelola memang belumlah menjadi jurnal yang bereputasi tinggi tetapi sedang berbenah dan berusaha mentaati aturan yang berlaku.

Jika harus membantu dengan cara di luar dari aturan maka mencederai reputasi jurnal dan secara tidak langsung mencegah kenaikan poin jurnal yang sedang berbenah menuju akreditasi. Dengan tertatih dan terbata-bata mencoba memberi penjelasan panjang lebar secara berulang kepada kawan-kawan, barulah mereka berterima dan meminta dipandu dari kejauhan.

Menjadi pengelola jurnal memang dibutuhkan kesabaran; ketabahan serta keikhlasan. Sabar menghadapi server yang sering down, sabar menghadapi deraian masalah; tabah menunggu respons dari reviewer yang berbulan-bulan tidak kunjung berkabar, lalu tabah menjadikan laptop sebagai suami kedua; serta ikhlas bekerja tanpa pamrih. Mungkin “Dilan” dalam filmnya menganggap bahwa rindu itu berat, tetapi bagi pengelola jurnal sabar-tabah-ikhlas itulah yang berat.

*Penulis adalah peserta TOT Relawan Jurnal Indonesia

Share:

On Key

Most Popular Posts