[Mini Riset Pusat Studi RJI] Penerapan Lisensi Terbuka pada Penerbit Ilmiah Indonesia

Oleh: Muhammad Ratodi, Harsa Wahyu Ramadhan, Juneman Abraham, Eric Kunto Aribowo, Andri Putra Kesmawan, Khaeruddin Kiramang

Proses duplikasi digital akan terus berkembang secara harmonis dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), sehingga proses pengawasan, pencegahan dan pengendalian proses duplikasi harus dilakukan dengan pendekatan teknologi digital juga. Untuk itu penerapan lisensi terbuka, salah satunya lisensi CC, menjadi sejalan dengan aktivitas publikasi yang berkaitan dengan perkembangan iptek itu sendiri.

CC terdiri dari empat elemen yang meliputi Attribution (BY), ShareAlike (SA), NonCommercial (NC) dan NoDerivs (ND). Kombinasi ke empat elemen tersebut akan membentuk enam tipe lisensi, yakni: Attribution (CC BY), Attribution ShareAlike (CC BY-SA), Attribution-NoDerivs (CC BY-ND), Attribution- NonCommercial (CC BY-NC), Attribution-NonCommercial-ShareAlike (CC BY-NC-SA) dan Attribution- NonCommercial-NoDerivs (CC BY-NC-ND). Pada Gambar 1 disajikan sebaran penggunaan jenis lisensi terbuka CC pada jurnal-jurnal di Indonesia.

Gambar 1. Sebaran penggunaan berbagai jenis tipe lisensi terbuka CC di Indonesia

Dari Gambar 1, terlihat bahwa lisensi Creative Commons Attribution (CC BY) menjadi jenis lisensi yang paling banyak digunakan di penerbit di Indonesia, diikuti dengan lisensi CC BY-SA dan CC BY- NC-SA. Penerapan lisensi umumnya diterapkan oleh pengelola jurnal berdasarkan kebijakan jurnal yang dicantumkan pada situs web jurnal dan menjadi butir persetujuan saat penulis akan melakukan penyerahan naskahnya di awal proses. Untuk rincian sebaran lisensi berdasarkan zona waktu di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Distribusi sebaran lisensi terbuka di Indonesia berdasarkan zona waktu Data

Data DOAJ juga menunjukkan bahwa semua penerbit Indonesia menyatakan persetujuannya pada deklarasi BOAI (Budapest Open Access Initiative) yang merekomendasikan hak guna ulang tanpa batas (unrestricted reuse). Oleh karena itu, sebagai konsekuensi dari persetujuan itu, tipe lisensi yang dipilih memang semestinya CC BY dan CC BY-SA yang merupakan tipe lisensi CC yang paling bebas.

Temuan dominasi CC BY-SA dan CC BY di Indonesia (sebagaimana tampak pada Gambar 2) sebenarnya tidak mengejutkan. Indonesia merupakan bagian dari masyarakat Timur, sebagaimana halnya China. Oleh karena itu, penting juga menengok sikap China terhadap hak cipta. Chen dalam kajiannya tentang paten (bentuk lain perlindungan kekayaan intelektual terhadap ilmu pengetahuan di luar hak cipta) menemukan bahwa China memandangnya sebagai gagasan negara-negara Barat, dan China menyikapinya dengan kekritisan yang tinggi, bahkan cenderung mengarah ke kecurigaan dan penolakan atau resistensi. Meskipun diaplikasikan di negaranya, penerapan gagasan paten di China lebih berlandaskan asas utilitarian, yaitu keuntungan pragmatis yang hendak diraih dalam konteks pembangunan ekonomi nasional, dan motif untuk memberikan sinyal kepada dunia bahwa China sudah mengadopsi sistem hukum modern dan teknologi yang maju.

Kendati demikian, patut dicatat bahwa sikap China yang paradoksikal adalah menarik. Di satu sisi, China meningkatkan perlindungan terhadap hak cipta. Namun di sisi lain, China menerapkan “antitrust law … to limit the patent rights of foreign holders”. Antitrust law adalah hukum yang utamanya ditujukan untuk melindungi konsumen dari praktik-praktik bisnis yang kuat yang cenderung menjadi monopolistis dan predatoris.

Meskipun konteksnya tidak persis sama, apabila kajian Chen digeneralisasikan pada hasil penelitian kali ini, yang menemukan bahwa dominasi lisensi yang lebih terbuka lebih banyak ditemukan; hal ini bermakna bahwa para pengelola jurnal di Indonesia dari suatu sudut pandang kultural tidak terlalu berbeda dengan China, yang hendak memberikan perlindungan yang tepat bagi warga domestiknya (dalam konteks studi ini: penulis) untuk tidak terlalu dicaplok oleh kepentingan bisnis/komersial. Hal ini merupakan sebuah penanda yang penting dari sebuah masyarakat berbasis relasi (relation-based society), seperti halnya China, Malaysia, Korea, Singapura, dan Jepang, yang lebih berorientasikan untuk melindungi pertama-tama kepentingan lingkar jejaring internal.

Jurnal-jurnal ilmiah di Indonesia memang jauh lebih banyak memuat hasil-hasil penelitian warga negara Indonesia sendiri. Dengan demikian, budaya berbasis relasi itu berlaku juga untuk penerapan hak cipta, di mana pengelola jurnal merasa memiliki relasi yang kental dengan para penulis. Sebagai sesama warga masyarakat kolektivistis, lisensi CC BY dan CC BY-SA yang tidak memisahkan interest penulis dari penerbit (atau: tidak berorientasi “memenangkan kepentingan penerbit”) adalah sangat wajar.

Lisensi terbuka menjadi salah satu tools yang direkomendasikan untuk terlaksananya sumber daya pendidikan terbuka (Open Education Resources, OER), yang berimbas kepada peningkatan kualitas pendidikan di suatu negara. Untuk itu, pemerataan informasi terkait lisensi hak cipta ke penjuru Indonesia menjadi satu keharusan, jika hal ini terwujud, maka hambatan infrastruktur teknologi (digital divide) dapat diatasi.

Data pada penelitian ini dapat diakses melalui tautan berikut: https://doi.org/10.6084/m9.figshare.11858229.v1.

Baca artikel lengkapnya: https://doi.org/10.48078/publetters.v1i1.1

Share:

On Key

Most Popular Posts